
ZHAO: THE BEGINNING
Keserakahan adalah salah satu dari tujuh dosa besar di dunia. Rasa ingin memiliki dan menguasai secara berlebih, yang dalam diam menggerogoti relung hati manusia. Ia memikat hati untuk merasa tinggi, seolah semesta tercipta untuk dimiliki.
Ibu Suri Cixi merupakan salah satu perwujudan darinya. Dimulai dari bagaimana ia mengatur siapa yang berkuasa, hingga akhir dari dinasti yang tengah berkuasa. Dipilihnya Kaisar Guangxu tentu bukan tanpa alasan. Sebagai anak dari adik perempuannya, Ibu Suri Cixi percaya ia dapat dengan mudah mengatur jalannya pemerintahan melalui tangan si teruna. Sayangnya, impian tersebut dihempas kenyataan Kaisar Guangxu yang percaya reformasi merupakan pilihan tepat untuk pemerintahan yang tengah ia pimpin; alih-alih tetap menjalankannya secara konservatif seperti keinginan Ibu Suri Cixi.
Adanya perbedaan tersebut menciptakan rasa benci dan amarah, yang mengacu pada kudeta militer terhadap pemerintahan Kaisar Guangxu. Usai berhasil membuat sang Kaisar diasingkan, Ibu Suri Cixi tidak berhenti di situ saja. Ia masih tetap berusaha menancapkan kuku jarinya pada pemerintahan yang tengah berada di ambang kehancuran.
Ibu Suri Cixi merasa bahwa ajalnya sudah dekat, namun ia tetap tidak merasa tenang mengetahui Kaisar Guangxu masih hidup. Maka ia menyiapkan rencana, menghubungi tabib kerajaan yang merupakan salah satu pengikut setianya: Zhao Jie.
Jie diminta untuk menyiapkan racun arsenik sebagai alat untuk membunuh Kaisar Guangxu. Dengan iming-iming emas batang dan banyak perhiasan mahal, Jie menyepakati rencana tersebut dan membantu Ibu Suri Cixi dalam menjalankannya.
Usai mengangkat Puyi (Kaisar Xuantong) sebagai kaisar yang baru, Ibu Suri Cixi meninggal tepat satu hari setelah Kaisar Guangxu wafat. Zhao Jie yang pada saat itu telah berusia lebih dari setengah abad lantas memberikan seluruh hartanya kepada sang anak. Ia meminta Zhao Bingwen untuk melarikan diri dari negeri China.
Zhao Bingwen yang saat itu berusia 15 tahun lantas mengikuti wasiat sang ayah dan berlayar menuju daratan Eropa. Penampilannya yang lusuh tak banyak menarik perhatian warga lokal, membuatnya lebih mudah dalam berbaur dan menyamar sebagai orang biasa. Bingwen tetap bekerja serabutan, sebagai pembantu di sebuah toko roti untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Sedangkan harta warisan dari sang ayah ia simpan dengan baik di balik tumpukan baju serta buku yang ia bawa dari negeri China.
Cintanya berlabuh pada gadis seusia dirinya yang bekerja di toko kamera tak jauh dari tempatnya bekerja. Mereka membangun rumah tangga sederhana dengan harapan dapat menjadi keluarga seutuhnya, sebab keduanya sama-sama penyintas dari negeri tirai bambu. Bingwen tidak pernah menceritakan harta warisan miliknya pada sang istri, ia bersikukuh untuk tetap hidup sederhana saja sembari membesarkan sang anak yang diberi nama Kai.
Beruntungnya, Kai tumbuh menjadi sosok pekerja keras seperti kedua orang tuanya. Ia tak lupa menimba ilmu dengan memperbanyak membaca buku di waktu senggang. Menjadikan si pemuda fasih dalam berbagai bahasa dan juga bidang keilmuan.
Kerja keras Bingwen dan sang istri pun menghasilkan sebuah kedai kecil yang menyediakan makanan ringan khas negeri China. Suatu ketika, sekelompok tuan memutuskan untuk singgah di kedai tersebut. Mereka memesan makanan sebagai pendamping diskusi. Kai bertugas sebagai penyaji hidangan, tanpa bisa dicegah ia turut curi dengar pembahasan mereka.
Nampaknya tuan-tuan tersebut tengah mencari pihak yang mampu mendanai proyek tambang milik mereka di Afrika. Mereka adalah sekumpulan arkeolog yang tidak sengaja menemukan lahan dengan berlian yang berpotensi tinggi menjadi sebuah tambang. Sayangnya, mereka tidak cukup dana untuk memulai perusahaan sendiri.
Kai memperhatikan tiap cerita yang diujar dari masing-masing teruna di meja tersebut. Mereka nampak santai dalam bercerita sebab mengira tidak ada orang lain yang memahami pembahasan dengan istilah rumit — namun Kai diberkati oleh kecerdasan otak yang lebih.
Malam datang, kedai ditutup dan Kai tengah membantu sang ayah dalam merapikan peralatan masak yang sudah dibersihkan. Ia menceritakan kisah mengenai para arkeolog tersebut pada sang ayah. Bingwen tertegun sejenak, mungkin ini saatnya ia menggunakan harta peninggalan Zhao Jie. Ia lantas mengajak sang anak untuk berdiskusi lebih serius, serta memastikan jika Kai benar-benar mampu mengolah dana serta membangun perusahaan. Pemuda berusia 16 tahun itu terkejut tatkala sang ayah memberinya kejutan berupa koin emas dan perhiasan yang ia jelas tahu melambung tinggi harganya.
Perjalanan bisnis Kai lantas dimulai dari sini.